Rabu, 22 September 2010

Sentimental Mellowholic ...

Bandung, 28 Mei 2010.
Hari ini aku di sekap sepi dalam mobil yang melenggang tenang menuju Bandung. Sungguh fantastis bisa menikmati hari kedua patah hati sendiri tanpa menangis. Sepanjang jalan, aku sibuk memikirkanmu dan tak kubiarkan ada jeda menyusup sedikit saja. Rasanya tidak adil ketika kamu datang dan menjejali hari-hariku dengan banyak pertanyaan lalu tiba-tiba kamu putuskan untuk pergi tanpa alasan yang jelas. Ya, seolah-olah aku telah di persiapkan untuk patah hati sedini mungkin ketika akhirnya aku tahu kamu sudah dimiliki orang lain. Aku menghela nafas. Benar sekali, jatuh cinta adalah proses ketagihan yang begitu indah dan menyiksa. Dan patah hati tak jauh beda dengan jatuh karena ditarik gravitasi tanpa henti. Sialnya, aku patah hati seorang diri.
Kamu tidak meninggalkan apa-apa kecuali kenangan bergaransi seumur hidup yang akan kusimpan sampai karatan. Tiba-tiba aku ingat janjiku untuk tidak jatuh cinta lagi padamu. Benar-benar seperti senjata makan tuan ketika lambat laun kamu meracuni hatiku yang serapuh kertas ini. Ah, hati memang tak pernah menepati janji.
Kuputar lagu-lagu yang menenangkan sambil menikmati pemandangan padatnya lalu lintas kota Bandung. Ah, harusnya saat ini kamu ada di sebelahku , bukan malah pergi dan meninggalkanku. Sepanjang jalan yang tersisa hanya ceracau hati tak berkesudahan.
Sepi sekali rasanya. Kalau saja aku cukup punya nyali mengatakan perasaanku padamu yang begitu dalam ini, mungkin aku bukan seorang pecundang yang sedang dalam pelarian di kota asing. Tapi rupanya keberanian tidak datang dari langit seperti hujan yang bisa turun sewaktu-waktu tanpa permisi.
Kutulis surat untukmu. Seperti biasa, surat yang tak pernah benar-benar kukirim.
Hanz.. Aku patah hati.
Tapi, kamu tak perlu tahu.
Semua hanya lah konsekuensi dari ‘kesendirian’ yang kupilih.
Semoga kamu bahagia. Hanz.

Dua jam perjalanan lumayan membuatku mengalami fluktuasi suasana hati yang seimbang sampai akhirnya hanya hatiku yang tertinggal dalam mobil ini. Mobil yang langsung membawaku pulang ke Rumah dan dari kejauhan kulihat Mas Agung berjalan ke arahku sambil menyusupkan kedua tangannya pada saku mantel. Aku melambaikan tangan girang.
“Apa kabar, Mima?”
“Sangat baik, Mas. Tapi aku sedang patah hati”

Tidak ada komentar: